Jumat, 25 Mei 2012 |
0
komentar
Aku wanita 25 tahun. Sudah menikah 10 bulan yang lalu dan sudah mempunyai seorang putra yang alhamdulilah sangat aku sayang banget. Aku merasa hidupku sudah sempurna apabila mengingat masa lalu bersama kedua temanku yang mempunyai sejarah cinta yang sama.
Temankku yang pertama menikah lebih dulu waktu aku masih kuliah dulu gara-gara MBA (Married By Accident), temenku yang kedua menikah setelah 2 bulan aku menikah lantaran gak dapat restu dari orang tua akhirnya dia seperti orang frustasi dan menikah karena perjodohan. Hanya aku yang berhasil memperjuangkan rasa sayang yang aku tau banget kalo hal ini sangat melukai perasaan ibuku.
Bagaimana tidak, ibuku orang yang kental keyakinannya, bahkan beliau dipercaya orang banyak menjadi pemimpin perkumpulan ibu-ibu. Sering aku denger ibu suka ngomongin orang yang pindah keyakinan karena pernikahan dan sepertinya itu aib banget buat beliau. Tapi pada kenyataannya kedua putrinya juga pindah keyakinan mengikuti suaminya. Tapi entah kenapa kali ini ibu diam saja dan gak ngomel ngalor-ngidul seperti biasanya. Aku jadi merasa sangat berdosa sekali. Ya....mau gimana lagi itulah hidup penuh pilihan.
Kini anakku sudah satu bulan usianya, dan aku belum pernah merasakan nikmatnya waktu yang kulalui hanya bertiga saja, dengan anak dan suamiku. Hal itu sangat langka sekali kurasakan bahkan kalau itu terjadi bagaikan “Golden Moment” aja.
Sejak aku ambil cuti melhirkan hingga sekarang, aku merasa suamiku tidak kerasan berada dirumahku juga dilingkungan keluargaku. Entah itu hari libur ato hari kerja bagiku sama saja. Aku tetap aja dirumah sendirian. Bahkan aku sering ngerasa pengen nangis kalo dah menjelang maghrib dan suamiku belum juga pulang. Apa aku dan fahmi dah gak penting lagi ya......
Mertuaku sering banget berkunjung kerumah karena kangen sama cucunya. Herannya kenapa suamiku gak merasakan hal yang sama, dimana waktu libur digunakan untuk lebih dekat sama anaknya, tapi tidak juga. Apa dia masih punya kangen sama anak dan istrinya atau tidak sudah tidak bisa ditebak lagi.
Aku maklum kalo siang dia tidak dirumah dan tidak bersama anaknya, tapi kalo sore, waktu pulang kenapa gak pengen langsung gendong anaknya, seperti kebanyakan orang yang bangga karena punya putra baru. Dia malah duduk ditempat biasa sambil ngopi dan ngrokok juga bersama burung kesayangannya berada jauh dari anaknya. Mungkinkah rasa sayangnya terhadap burung lebih besar dibanding ke anaknya.
Pernah waktu itu dia baru pulang dan aku sedang mandi. Anak kami dipangku sama ibukku yang sedang stroke sekarang. Aku belum selesai mandi, fahmi dah nangis, karena ibuk gak bisa gendong maka fahmi digendong sama pembantu, papanya kemana????? Ternyata dia dikandang burung belakang rumah dan gak tau kalo anaknya nangis. Ya ampun pa kenapa kok gak gendong anaknya seh........ begitu aku keluar dari kamar mandi, fahmi langsung aku gendong aku kasih susu dan karena belum ganti baju, fahmi aku taruh begitu saja dikasur aku tinggal ganti baju, yang bikin aku makan ati, fahmi langsung tidur. Air mataku dah gak bisa kebendung lagi rasanya. Ya tuhan apa ini cobaan.
“Pa.....apa papa gak kerasan karena sering dimintai tolong ma ibuk ya? Kita anaknya wajib ngebantuin kan. Kalo inget pengorbanan ibuk akan kebahagiaan kita sekarang pasti papa gak tega salahin ibuk lagi. Maafin aku dan keluargaku ya pa...............aku sayang papa”.
Dulu kita berkomitmen kalo ada masalah harus dibicarakan bersama untuk menemukan jalan keluar.tapi apakah mungkin aku melarangnya sering-sering datang kerumah orang tuanya sendiri dan mengurungnya tetap dirumahku yang pada kenyataannya dia gak kerasan. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya. Biarlah rasa ini aku pendam sendiri dan tak seorang pun yang tau. Hanya lewat tulisan ini yang bisa bikin aku merasa sedikit lega.
Sebagai istri yang normal aku sangat sayang sama suamikiu, oleh karenanya aku gak bisa bilang enggak sama dia. Bahkan tiap pagi waktu dia pamit mo kerumah orang tuanya. Aku Cuma bisa bilang iya, cepet pulang ya.....padahal dalam hati rasanya pengen nangis. Aku belum bisa melihat kasih sayang dia ma anaknya, apa iya dia gak sayang sama anaknya. Padahal itu kan buah cinta kita berdua. Bagaikan dua kertas yang mo disambung, anak adalah lemnya. Kasihan kamu nak........
Anehnya dia begitu sabar sama aku. Apapun yang aku mau dia begitu bijaksana menyikapinya. Tapi aku merasa dia lebih nyaman berada dekat keluarganya daripada keluarga kecil kami. Dimana ada aku, dia, dan anak kami. Kini aku merasa sangat kangen sekali ma kelembutannya. Kita berjuang ya nak bikin papa betah dirumah bersama kita.
Pa......aku dan fahmi butuh papa.
READ MORE - Apa sih yang enggak buat kamu..........................